HAKIKAT PESERTA DIDIK DALAM
PENDIDIKAN ISLAM
SITI AISYAH
BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN
KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan atas
kehadiran Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penyusunan Makalah Filsafat Pendidikan Islam yang berjudul
“
HAKEKAT PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM“
ini dapat di selesaikan. Makalah ini merupakan wujud dari
gagasan perlunya referensi untuk mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam.
Kemudian makalah ini diintergrasikan dengan pemikiran-pemikiran dari ahli lain
dan konsep-konsep yang baru berkembang. Makalah ini mendapat banyak tambahan
materi yang disesuaikan dengan sistematiika pemikiran dari sisi prosedur.
Akhirnya, Semoga penyusunan makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak dan para pembaca, oleh karena itu kritik dan saran
sangat penulis harapkan sehingga terdapat kesempurnaan pada makalah ini. Semoga
makalah ini dapat memberikan arti dalam pengembangan pendidikan yang akan
datang. Amin.
Medan,
17 Desember 2015
Siti
Aisyah
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................i
DAFTAR
ISI.................................................................ii
PENDAHULUAN
BAB I
a. Latar
Belakang.............................................................1
b. Rumusan
Masalah........................................................1
c. Tujuan
Penulisan...........................................................1
PEMBAHASAN
BAB II
2.1 Pengertian
Peserta Didik
.......................................2
2.2 Peserta
Didik dalam Perspektif
Falsafah Pendidikan Islam ......................................4
Falsafah Pendidikan Islam ......................................4
2.3 Kode Etik
Murid
.....................................................5
2.4
Tugas dan Tanggung Jawab Pesrta Didik
.............7
2.5
Hakikat Peserta
didik............................................10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan...................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik
merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan)
dasar yang masih perlu di kembangkan. Disini peserta didik merupakan makhluk
Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf
kematangan baik bentuk, ukuran, maupun pertimbangan pada bagian-bagian lainnya.
Dari segi ruhaniyah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak, perasaan dan pikiran
yang dinamis dan perlu dikembangkan.
Banyak sebutan disekitar kita mengenai peserta didik
ini. Ada yang menyebut murid, siswa, santri, anak didik dan berbagai sebutan
lainnya. Murid misalnya, secara terminologi dapat di artikan sebagai orang yang
sungguh-sungguh mencari ilmu dengan mendatangi guru. Sedangkan dalam pendidikan
islam, ketika dihadapkan pada orang yang berguru kepada seorang guru, maka
melahirkan konsep “santri kelana”. Istilah santri kalau berasal dari kata cantik
lebih pas dengan pendidikan Islam. Karena di padepokan, seorang cantrik pasti
patuh pada sang guru.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian peserta didik ?
2. Bagaimana
peserta didik dalam perspektif falsafah pendidikan Islam ?
3. Apa
saja kode etik murid ?
4. Apa
saja tugas dan tanggung jawab pesrta didik ?
5. Apa
hakikat peserta didik ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Peserta Didik
Diantara komponen terpenting dalam pendidikan Islam adalah peserta didik. Dalam perspektif
pendidikan Islam, peserta didik merupakan subjek dan objek. Oleh karenanya,
aktivitas kependidikan tidak akan terlaksana tanpa keterlibatan peserta didik
di dalamnya. Pengertian yang utuh tentang konsep pesrta didik merupakan salah
satu faktor yang perlu diketahui dan dipahami oleh seluruh pihak, terutama
pendidik yang terlibat langsung dalam proses pendidikan. Tanpa pemahaman yang
utuh dan komperhensif terhadap peserta didik, sulit rasanya bagi pendidik untuk
dapat menghantarkan peserta didik kearah tujuan pendidikan yang diinginkan.[1]
Dalam paradigma Pendidikan Islam, Peserta didik
merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi dan (kemampuan)
dasar yang masi perlu dikembangkan. Disini, peserta didik merupakan makhluk
Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf
kematangan dalam bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya.
Dari segi ruhaniyah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak, perasaan, dan
pikiran yang perlu dikembangkan.[2]
Melalui paradigma diatas menjelaskan bahwa peserta
didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang
lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang
dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan. Potensi suatu kemampuan
dasar yang di milikinya tidak akan tumbuh dan berkembang secara optimal tanpa
bimbingan pendidikan. Karenanya pemahaman yang lebih konkret tentang peserta
didik sangat perlu di ketahui oleh setiap pendidik. Hal ini sangat beralasan
karena melelui pemahaman tersebut akan membantu pendidik dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya melalui berbagai aktivitas kependidikan.
Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu
yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik maupun psikis untuk
mencapai tujuan pendidikannya melalui lembaga pendidikan. Dalam bahasa Arab,
peserta didik dikenal dengan istilah tilmidz
(sering digunakan untuk menunjukkan peserta didik tingkat sekolah dasar)
dan thalib al-‘ilm (orang yang
menuntut ilmu dan biasa digunakan untuk tingkat yang lebih yaitu seperti
Sekolah Lanjut Pertama dan Atas serta Perguruan Tinggi).
Peserta didik adalah makhluk yang sedang berada
dalam proses pertumbuhan dan perkembangan menurut fitrahnya masing-masing.
Mereka perlu bimbingan dan pengarahan yang konsisten dan berkesinambungan
menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. Peserta didik tidak hanya
menjadi objek (sasaran pendidikan) tetapi juga sebagai subjek pendidikan,
diperlukan dengan cara melibatkan mereka dalam memecahkan masalah-masalah dalam
proses pembelajaran. Peserta didik juga dapat dicirikan sebagai orang yang
tengah memerlukan pengetahuan (ilmu), bimbingan dan pengarahan dari guru
misalnya serta orang yang memerlukan kawan tempat mereka berbagai rasa dan
belajar bersama.[3]
Berikut ini akan diuraikan pengertian peserta didik
dari sudut pandang Pendidikan Islam, yaitu:
1. Muta’allim
Muta’allim adalah orang yang sedang diajar atau
orang yang sedang mengajar. Muta’allim sangat erat kaitanya dengan ma’allim.
Karena mu’allim adalah orang yang mengajar, sedangkan muta’allim adalah orang
yang yang diajar. Kewajiban menuntut ilmu atau belajar sesuai dengan firman
Allah Swt. Yang artinya “dan bertanyalah kepada orag-orang yang berilmu jika
kalian tidak mengetahui”. Dan Sabda Rasulullah SAW:” Menuntut ilmu adalah wajib
bagi laki-laki dan perempuan.
2. Mutarabbi
Mutarabbi adalah orang yang dididik dan orang yang
diasuh dan orang yang dipelihara. Defenisi Mutarabbi adalah lawan defenisi dari
defenisi muarabbi yaitu pendidik, penagsuh. Sedangkan mutarabbi adalah yang
dididik dan diasuh.
3. Muta’addib
Muta’addib adalah orang yang diberi tata cara sopan santun
atau orang yang dididik untuk menjadi orang yang baik adan diberbudi muta’addib
juga berasal dari muaddip yang artinya mendidik dalam hal tingkah laku peserta
didik. Jadi, mutaaddib adalah orang yang diberi pendidikan tentang tingkah
laku.[4]
Beberapa hal yang terkait dengan
hakikat peserta didik dan implementasinya terhadap pendidikan Islam, yaitu :
1. Peserta
didik bukan merupakan miniature orang dewasa akan tetapi memiliki dunianya
sendiri.
2. Peserta
didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi priodesasi perkembangan dan
pertumbuhan.
3. Peserta
didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik yang menyangkut kebutuhan
jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi.
4. Peserta
didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual, baik yang disebabkan
oleh faktor pembawaan maupun lingkungan dimana ia berada.
5. Peserta
didik merupakan resultan dari dua unsur yaitu jasmani dan rohani.
6. Peserta
didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah)
yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.[5]
2.2
Peserta
Didik dalam Perspektif Falsafah Pendidikan Islam
Banyak sebutan disekitar kita mengenai peserta didik
ini. Ada yang menyebut murid, siswa, santri, anak didik dan berbagai sebutan
lainnya. Murid misalnya, secara terminologi dapat diartikan sebagai orang yang
sungguh-sungguh mencari ilmu dengan mendatangi guru. Sedangkan dalam pendidikan
islam, ketika dihadapkan pada orang yang berguru kepada seorang guru, maka
melahirkan konsep “santri kelana”. Istilah santri kalau berasal dari kata
cantrik lebih pas dengan pendidikan Islam. Karena dipadepokan, seorang cantrik
pasti patuh pada sang guru.
Dalam pendidikan Islam, beberapa hal
yang perlu dikembangkan terkait dengan komponen peserta didik (input) antara
lain adalah persyaratan penerimaan (rekrutmen) siswa baru. Selain ini juga
perlu diperhatikan mengenai rumusan tentang kualitas output peserta didik yang
diinginkan, akan dibawa kemana anak didiknya harus secara jelas dan tegas
dirumuskan.
Kemudian yang perlu mendapatkan
perhatian adalah jumlah peserta didik yang diinginkan, karena ini akan
berkaitan erat dengan kapasitas sarana pendidikan yang dimiliki oleh sebuah
lembaga pendidikan Islam. Tak kalah pentingnya adalah latar belakang peserta
didik, baik itu mengenai pendidikannya, sosialnya, budayanya, pengalaman
hidupnya, potensi, minat, bakat, dan lainnya.[6]
2.3
Kode Etik Murid
Tujuan pendidikan salah satunya adalah menciptakan
generasi yang berakhlak mulia bahkan hal ini menjadi tujuan penting dalam
pengutusan Rasulullah Saw kemuka bumi ini. Oleh sebab itu pembahasan mengenai
kode etik seorang siswa amatlah penting dalam pendidikan Islam.
Menurut Imam Nawawi bahwa adab-adab dan kode etik
penuntut ilmu sama dengan kode etik seorang guru. Hal tersebut dirincikan
sebagai berikut:
1. Murid
harus membersihkan hatinya dari segala kotoran agar hatinya siap untuk menerima
ilmu dan menghafalnya serta mengambil manfaat darinya. Menurut ulama membenahi
hati untuk menerima ilmu sama halnya menyuburkan tanah untuk ditanami.
2. Hendaknya
penuntut ilmu memutuskan hubungan dengan segala sesuatu yang menyibukkannya
dari penyempurnaan upaya dalam mencari ilmu. Ridha terhadap rezeki yang sedikit
dan bersabar dalam menghadapi kesulitan hidup.imam Syafi’i pernah berkata: jika
seorang menuntut ilmu ini dengan harta kepemilikan yang banyak juga dengan
kesombongan diri maka dia tidak akan beruntung namun jika seorang menuntut ilmu
dengan kerendahan hati, kesulitan hidup, melayani para ulama maka ia akan
beruntung.
3. Hendaklah
seorang penuntut ilmu merendahkan hatinya kepada ilmu dan kepada gurunya karena
dengan kerendahan hatinyalah ia dapat memperoleh ilmu.
4. Janganlah
ia membina ilmu melainkan dari seorang yang sempurna keahlian ilmunya, jelas
keta’ataan beragamanya, benar ma’rifatnya dan terkenal memelihara dirinya dan
kepeloporannya dalam keilmuan.
5. Hendaklah
jua seorang penuntut ilmu memandang kepada gurunya dengan penuh hormat dan
meyakininya memiliki kesempurnaan kelayakan dan kelebihan diatas kebanyakan
ulama yang semasa dengannya.
6. Hendaklah
si penuntut ilmu mencari keridhoan gurunya meskipun ia menentang pendapat
pribadinya, janganlah ia menggunjingnya atau membeberkan rahasianya.
7. Janganlah
ia masuk menemuinya tanpa izin, jika mereka menemuinya secara berjama’ah maka
hendaklah mendahulukan orang yang paling mulia atau paling tua.[7]
Al-Ghazali yang dikutip oleh Fathiyah Hasan
Sulaiman juga berpendapat bahwa sifat
dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam
proses belajar mengajar baik secara langsung maupun tidak langsung, adapun
sifat dan kode etik peserta didik yaitu:
1. Belajar
dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada
Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk
menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela (takhalli) dan mengisi dengan akhlak yang
terpuji (tahalli).
2. Mengurangi
kecenderungan pada duniawi dibandingkanmasalah ukhrawi (Q>S adh-Dhuha:4).
Artinya, belajar tak semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi juga
belajar ingin berjihad melawan
kebodohan demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi, baik di hadapan
manusia dan Allah SWT.
3. Bersifat
tawadlu (rendah hati) dengan cara
menanggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidiknya.
4. Menjaga
pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran, sehingga ia terfokus
dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.
5. Mempelajari
ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah),
baik untuk ukhrawi maupun untuk duniawi, serta meninggalkan ilmu-ilmu yang
tercela (madzmumah).
6. Belajar
dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkret)
menuju pelajara yang sukar (abstrak) atau ilmu yang fardlu ‘ain menuju ilmu yang fardlu
kifayah (Q.S. al-Insyiqaq: 19)
7. Belajar
ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lain, sehingga peserta
didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
8. Mengenal
nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari, sehingga mendatangkan
objektivitas dalam memandang suatu masalah.
9. Mempriyoritaskan
ilmu diniyah yang terkait dengan
kewajiban sebagai makhluk Allah SWT, sebelum memasuki ilmu duniawi.[8]
2.4
Tugas
dan Tanggung Jawab Pesrta Didik
Dalam
pendidikan, istilah mana sebenarnya yang paling tepat? Saya memilih istilah
murid. Jadi, istilah muridlah yang paling tepat bagi semua orang yang sedang
belajar pada guru, bukan anak didik dan bukan pula peserta didik. Saya pilih
istilah murid karena banyak mengandung banyak kelebihan dibandingkan dengan dua
istilah lainnya.
Sa’id Hawwa (1999) menjelaskan adab
dan tugas murid (yang dapat juga disebut sifat-sifat murid) sebagai berikut
ini.
Pertama, murid harus
mendahulukan kesucian jiwa sebelum yang lainnya. Sama halnya dengan shalat, ia
tidak sah bila tidak suci dari hadats dan najis. Menyemarakkan hati dengan ilmu
tidak sah kecuali setelah hati itu suci dari kekotoran akhlak. Intinya di sini
ialah murid itu jiwanya harus suci. Indikatornya terlihat pada akhlaknya.
Kedua, murid harus mengurangi
keterikatannya dengan kesibukan duniawiah karena kesibukan itu akan
mengelahkannya dari menuntut ilmu. Tuhan menyatakan bahwa Ia tidak akan
menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam dua rongga dadanya (al-Ahzab:4).
Jika pikiran terpecah maka murid tidak akan dapat memahami hakikat.
Karena
itu dikatakan “Ilmu tidak akan memberikan kepadamu sebagainnya sebelum kamu
menyerahkan kepadanya seluruh jiwamu; jika kamu telah memberikan seluruh jiwamu
kepadanya tetapi ia baru memberikan sebagainnya kepadamu maka itu berarti kamu
dalam bahaya.” Pikiran yang terpencar pada berbagai hal yang seperti sungai
kecil yang airnya terpencar kemudian sebagiannya diserap tanah dan sebagian
lagi menguap ke udara sehingga tidak ada air yang terkumpul dan sampai ke
ladang tanaman. Intinya ialah murid harus berkonsentrasi menuntut ilmu, tidak
mengkonsentrasikan diri pada selain itu.
Ketiga, tidak sombong terhadap orang yang
berilmu, tidak bertindak sewenang-wenang terhadap guru; ia harus patuh kepada
guru seperti patuhnya orang sakit terhadap dokter yang merawatnya. Murid
harus Tawadldlu’ kepada gurunya dan mencari pahala dengan cara
berkhidmat pada guru.
Di antara sikap sombong terhadap
guru ialah ia tidak mengambil manfaat dari ilmu yang di ajarkan guru. Ilmu itu
enggan terhadap murid yang congkak seperti enggannya banjir terhadap tanah
tinggi. Intinya ialah patuh pada guru; tawadldlu’ itu salah
satu indikator kepatuhan.
Keempat, orang yang
menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri dari mendengarkan perbedaan
pendapat atau khilafiah antar mazhab karena hal itu akan membingungkan
pikirannya. Perbedaan pendapat dapat diberikan pada belajar tahap lanjut.
Kelima, penuntut
ilmu harus mendahulukan menekuni ilmu yang paling penting untuk dirinya. Jika
usianya mendukung barulah ia menekuni ilmu lain yang berkaitan dengan ilmu
paling penting tersebut.
Keenam, tidak
menekuni banyak ilmu sekaligus, melainkan berurutan dari yang paling penting.
Ilmu yang paling utama ialah ilmu mengenal Allah.
Ketujuh, tidak
memasuki cabang ilmu sebelum menguasai cabang ilmu sebelumnya. Ilmu itu
sifatnya bertahap dan berurutan. Antara satu ilmu dengan ilmu lainnya
seringkali memilki sifat prerequisite.
Kedelapan, hendaklah
mengetahui ciri-ciri ilmu yang paling mulia, itu diketahui dari hasil
belajarnya, dan kekuatan dalilnya. Contoh (dari segi hasil): hasil belajar ilmu
agama ialah kehidupan yang abadi, sedangkan hasil belajar ilmu kedokteran ialah
kehidupan yang fana. Jadi belajar ilmu agama lebih utama ketimbang belajar ilmu
kedokteran.[9]
Agar pelaksanaan proses Pendidikan Islam dapat
mencapai tujuan yang diinginkan, maka setiap pesertadidik hendaknya senantiasa
menyadari tugas dan kewajibannya. Menurut Asma Hasan Fahmi, diantara tugas dan
kewajiban yang perlu dipenuhi peserta didik adalah :
1. Peserta
didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu.
2. Tujuan
belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat
keutamaan.
3. Memiliki
kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu diberbgai tempat.
4. Setiap
peserta didik wajib menghormati pendidiknya.
5. Peserta
didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah dalam belajar.
Selanjutnya Al-Abrasyi menyatakan, bahwa diantara
tugas peserta didik dalam Pendidikan Iilam adalah :
1. Sebelum
belajar hendaklah terlebih dahulu membersihkan hatinya dari segala sifat yang
buruk.
2. Niat
belajar hendaknya ditunjukan untuk mengisi jiwa dengan berbagai fadhilah.
3. Hendaklah
bersedia meninggalkan keluarga dan anak untuk mencari ilmu ketempat yang jauh
sekalipun.
4. Memaafkan
guru apabila mereka bersalah, terutama dalam menggunakan lidahnya.
5. Peserta
wajib saling mengasihi dan menyayangi diantara sesamanya, sebagai wujub
memperkuat rasa persaudaraan.
Peserta didik adalah saah satu komponen manusiawi
yang menempati posisi sentral dalam proses
belajar-mengajar. Dalam proses belajar-mengajar, peserta didik adalah
pihak yang ingin meraih cita-cita dan ingin memiliki tujuan dan kemudian ingin
mencapainya secara optimal. Jadi, dalam proses belajar-mengajar yang perlu
diperhatikan pertama kali adalah peserta didik, bagaimana keadaan dan
kemampuannya, baru setelah itu menentukan komponen-komponenn yang lain, seperti
bahan yang diperlukan, bagaimana cara yang tepat untuk bertindak, alat dan
fasilitas apa yang cocock untuk mendukung. Semua itu harus disesuaikan dengan
keadaan atau karakteristik peserta didik. Itulah sebabnya peserta didik
merupakan subjek belajar.
Menurut Ahmadi, ada beberapa tugas peserta didik
dalam pendidikan Islam yaitu :
1. Memahami
dan menerima keadaan jasmani.
2. Memperoleh
hubungan yang memuaskan dengan teman-teman sebayanya.
3. Mencapai
hubungan yang lebih”Matang” dengan orang
dewasa.
4. Mencapai
kematangan Emosional.
5. Menuju
kepada keadaan berdiri sendiri dalam lapangan financial.
6. Mencapai
kematangan intelektual.
7. Membentuk
pandangan hidup.
Menurut Imam al-Ghajali peserta didik memiliki
sepuluh poin kewajibannya :
1. Peserta
didik memprioritaskan penyucian diri dari akhlak tercela dan sifat buruk, sebab
ilmu bentuk pribadatan hati, shalat ruhani dan pendekatan batin kepada Allah.
2. Peserta
didik menjag diri dari kesibukan-kesibukan duniawi dan dan berkelana jauh dari
tempat tinggalnya.
3. Peserta
didik tidak membusungkan dada terhadap orang alim (guru), melainkan bersediah
patuh dalam segala urusan dan bersedia mendengarkan nasihatnya.
4. Peserta
didik hendaknya menghindarkan diri dari mengkaji variasi dan pemikiran dan
tokoh, baik menyangkut ilmu-ilmu duniawi maupun ilmu-ilmu ukhrawi.
5. Pesrta
didik tidak mengabaikan suatu disiplin
ilmu apapun yang terpuji, melainkan bersedia mempelajarinya hingga tau akan
orientasi dari disiplin ilmu tersebut.
6. Pesrta
didik dalam usahanya mendalami suatu disiplin ilmu tidak dilakukan secara
sekaligus, akan tetapi perlu bertahap dan memprioritaskan yang terpenting.
7. Peserta
didik tidak melangah mendalami tahap ilmu berikutnya hingga ia benar-benar
menguasai tahap ilmu sebelumnya.
8. Peserta
didik hendaknya mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan dapat memperoleh ilmu
yang paling mulia.
9. Tujuan
peserta didik dalam menuntut ilmu adalah pembersihan batin dan mengasihinya
dengan keutamaan serta pendekatan diri kepada Allah.
10. Peserta
didik megetahui relasi ilmu-ilmu yang dikajinya dengan orientasi yang dituju,
sehingga dapat memilah dan memilih ilmu mana yang haris diprioritaskan.[10]
2.5
Hakekat
Peserta Didik
Di
antara komponen terpenting dalam pendidikan islam adalah peserta didik. Dalam
perspektif pendidikan Islam, peserta didik merupakan subjek dan objek. Oleh
karenanya, aktifitas kependidikan tidak akan terlaksana tanpa keterlibatan
peserta didik di dalamnya. Pengertian yang utuh tentang konsep peserta didik
merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui dan dipahami oleh seluruh
pihak, terutama pendidikan yang terlibat langsung dalam proses pendidikan.
Tanpa pemahaman yang utuh dan komprehensif terhadap peserta didik, sulit
rasanya bagi pendidikan untuk dapat menghantarkan peserta didiknya ke arah
tujuan pendidikan yang diinginkan.
Dalam
paradigma pendidikan islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan
memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di
sini, peserta didik meruapakan mahluk Allah yang memiliki fitrah jasmani
maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun
perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memilki bakat,
memilki kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.[11]
Melalui
paradigma di atas menjelaskan bahwa peserta didik merupakan subjek dan objek
pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu
mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya
menuju kedewasaan. Potensi suatu kemampuan dasar yang dimilikinnya tidak akan
tumbuh dan berkembang secara optimal tanpa bimbingan pendidik. Karenanya
pemahamannya yang lebih konkert tentang peserta didik sangat perlu diketahui
oleh setiap pendidik. Hal ini sangat beralasan karena melalui pemahaman
tersebut akan membantu pendidik dalam melaksanakan tugas dan fungsinya melalui
berbagai aktifitas kependidikan. Untuk itu, perlu terlebih dahulu diperjelas
beberapa diskripsi tentang hakikat peserta didik dan implikasinya terhadap
pendidikan islam, yaitu:
1. Peserta
didik bukan merupakan miniatur orang dewasa akan tetapi memiliki dunianya
sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlukan terhadap mereka
dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan orang dewasa, baik
dalam aspek metode mengajar, materi yang akan diajarkan, sumber bahan yang
digunakan, dan lain sebgainnya.
2. Peserta
didik adalah manusia yang memilki diferensiasi periodesasi perkembangan dan
pertumbuhan. Pemahaman ini cukup perlu untuk diketahui agar aktivitas
kependidikan islam disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan danperkembngan yang
pada umumnya dilalui oleh setiap peserta didik. Hal ini sangat beralasan,
karena kadar kemampuan peserta didik ditentukan oleh faktor usia dan periode
perkembangan atau pertumbuhan potensi yang dimilikinnya.
3. Peserta
didik adalah manusia yang memilki kebutuhan, baik yang menyangkut kebutuhan
jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi. Di antara kebutuhan tersebut adalah
kebutuhan biologis, kasih sayang, rasa aman, harga diri, realisasi diri dan
sebagainya. Kesemuanya itu penting dipahami oleh pendidik agar tugas
kependidikan dapat berjalan secara baik dan benar.
4. Peserta
didik adalah mahluk allah yang memiiliki perbedaan individual (differensiasi
individual), baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan
dimana ia berada. Pemahaman tentang differisiansi individual peserta
didik sangat penting untuk dipahami oleh seorang pendidik. Hal ini disebabkan
karena menyangkut bagaimana pendekatan yang perlu dilakukan pendidik dalam
menghadapi ragam sikap dan perbedaan tersebut dalam suasana yang dinamis, tanpa
harus mengorbankan kepentingan salah satu pihak atau kelompok.
5. Peserta
didik merupakan resultan dari dua unsur utama, yaitu jasmani dan rohani. Unsur
jasmani memiliki daya pisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan yang
dilakukan melalui proses pendidikan. Sementara unsur rohaniah memiliki dua
daya, yaitu daya akal dan daya rasa. Untuk mempertajam daya akal, maka proses
pendidikan hendaknya diarahkan untuk mengaya daya intelektualitasnya melalui
ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui
pendidikan akhlak dan ibadah. Konsep ini bermakna bahwa suatu proses pendidikan
islam hendaknya dilakukan dengan memandang peserta didik secara utuh. Dalam
dataran praktis, pendidikan islam tidak hanya mengutamakan pendidikan salah
satu aspek saja, melainkan kedua aspek secara intregal dan harmonis. Bila
tidak, maka pendidikan tidak akan mampu menciptakan out put yang
memilki kepribadian utuh, akan tetapi malah sebaliknya yaitu kepribadian yang
ambigu. Bila fenomena ini terjadi dalam praksis pendidikan islam, maka upaya
untuk menciptakan insan kamil akan hanya sebuah mimpi belaka.
6. Peserta
didik adalah manusia yang memilki potensi (fitrah) yang dapat
dikembangkan dan berkembang secara dinamis. Di sini tugas pendidikan adalah
membantu mengembangkan dan mengarahkan perkembangan tersebut sesuai dengan
tujuan pendidikan yang diinginkan, tanpa melepaskan tugas kemanusiannya; baik
secara vertikal maupun horizontal. Ibarat sebidang sawah, peserta didik adalah
orang yang berhak bercocok tanam dan memanfaatkan sawahnya (potensi). Sementara
pendidik (termasuk orang tua) hanya bertugas menyirami dan mengontrol tanaman
agar tumbuh subur sebagaimana mestinya, sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku.[12]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Peserta didik dalam pendidikan Islam
adalah individu yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik maupun
psikis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui lembaga pendidikan. Dalam
bahasa Arab, peserta didik dikenal dengan istilah tilmidz (sering digunakan untuk menunjukkan peserta didik tingkat
sekolah dasar) dan thalib al-‘ilm (orang
yang menuntut ilmu dan biasa digunakan untuk tingkat yang lebih yaitu seperti
Sekolah Lanjut Pertama dan Atas serta Perguruan Tinggi).
Dalam paradigm pendidikan Islam,
peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi
(kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Disini peserta didik merupakan
makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai
taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun pertimbangan pada bagian-bagian
lainnya. Dari segi ruhaniyah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak, perasaan
dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.
DAFTAR
PUSTAKA
Mujib, Abdul & Mudzakkir, Jusuf.
2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta:
Prenada Media
Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan
Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers
Salminawati. 2015. Filsafat Pendidikan Islam Membangun Konsep
Pendidikan yang Islami. Bandung: Citapustaka Media Perintis
Syafaruddin, dkk. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Hijri Pustaka
Utama
Usiono. 2015. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Citapustaka Media
Tafsir,
Ahmad, 2012. Filsafat Pendidikan Islam,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
[1] Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam
Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. (Jakarta: Ciputat Pers, 2002),
hal 47
[2] Salminawati. Filsafat Pendidikan Islam Membangun konsep
Pendidikan Yang Islam. (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2015), hal 139
[4] Salminawati. Filsafat Pendidikan Islam Membangun konsep
Pendidikan Yang Islam. (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2015), hal 140
[5] Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam
Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. (Jakarta: Ciputat Pers, 2002),
hal 50
[8] Abdul
Mujib & Jusuf Mudzakkir. Ilmu
Pendidikan Islam. (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), hal 114
[9] Ahmad Tafsir, Filsafat
Pendidikan Islam, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012, hal. 166-168
[10] Salminawati. Filsafat Pendidikan Islam Membangun konsep
Pendidikan Yang Islam. (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2015), hal 143
[11] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan
Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: CIPUTAT PERS. 2002, Hal. 48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar