Kamis, 21 April 2016

Makalah Filsafat Pendidikan Islam


HAKIKAT PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN  ISLAM












 














SITI AISYAH














BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2015



KATA PENGANTAR



          Puji syukur saya ucapkan atas kehadiran Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusunan Makalah Filsafat Pendidikan Islam yang berjudul “ HAKEKAT PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM“  ini dapat di selesaikan. Makalah ini merupakan wujud dari gagasan perlunya referensi untuk mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam. Kemudian makalah ini diintergrasikan dengan pemikiran-pemikiran dari ahli lain dan konsep-konsep yang baru berkembang. Makalah ini mendapat banyak tambahan materi yang disesuaikan dengan sistematiika pemikiran dari sisi prosedur.

Akhirnya, Semoga penyusunan makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan para pembaca, oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan sehingga terdapat kesempurnaan pada makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberikan arti dalam pengembangan pendidikan yang akan datang. Amin.



                                                                                   Medan, 17 Desember 2015


                                                                                   
                                                                                           Siti Aisyah




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................i
DAFTAR ISI.................................................................ii
PENDAHULUAN
BAB I
a.       Latar Belakang.............................................................1
b.      Rumusan Masalah........................................................1
c.       Tujuan Penulisan...........................................................1
PEMBAHASAN
BAB II
2.1 Pengertian Peserta Didik .......................................2
2.2 Peserta Didik dalam Perspektif 
      Falsafah Pendidikan Islam ......................................4
2.3 Kode Etik Murid .....................................................5
2.4 Tugas dan Tanggung Jawab Pesrta Didik .............7
2.5 Hakikat Peserta didik............................................10
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan...................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu di kembangkan. Disini peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun pertimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi ruhaniyah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak, perasaan dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.
Banyak sebutan disekitar kita mengenai peserta didik ini. Ada yang menyebut murid, siswa, santri, anak didik dan berbagai sebutan lainnya. Murid misalnya, secara terminologi dapat di artikan sebagai orang yang sungguh-sungguh mencari ilmu dengan mendatangi guru. Sedangkan dalam pendidikan islam, ketika dihadapkan pada orang yang berguru kepada seorang guru, maka melahirkan konsep “santri kelana”. Istilah santri kalau berasal dari kata cantik lebih pas dengan pendidikan Islam. Karena di padepokan, seorang cantrik pasti patuh pada sang guru.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian peserta didik ?
2.      Bagaimana peserta didik dalam perspektif falsafah pendidikan Islam ?
3.      Apa saja kode etik murid ?
4.      Apa saja tugas dan tanggung jawab pesrta didik ?
5.      Apa hakikat peserta didik ?






BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Peserta Didik
Diantara komponen terpenting dalam pendidikan Islam adalah peserta didik. Dalam perspektif pendidikan Islam, peserta didik merupakan subjek dan objek. Oleh karenanya, aktivitas kependidikan tidak akan terlaksana tanpa keterlibatan peserta didik di dalamnya. Pengertian yang utuh tentang konsep pesrta didik merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui dan dipahami oleh seluruh pihak, terutama pendidik yang terlibat langsung dalam proses pendidikan. Tanpa pemahaman yang utuh dan komperhensif terhadap peserta didik, sulit rasanya bagi pendidik untuk dapat menghantarkan peserta didik kearah tujuan pendidikan yang diinginkan.[1]
Dalam paradigma Pendidikan Islam, Peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi dan (kemampuan) dasar yang masi perlu dikembangkan. Disini, peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan dalam bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi ruhaniyah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak, perasaan, dan pikiran yang perlu dikembangkan.[2]
Melalui paradigma diatas menjelaskan bahwa peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan. Potensi suatu kemampuan dasar yang di milikinya tidak akan tumbuh dan berkembang secara optimal tanpa bimbingan pendidikan. Karenanya pemahaman yang lebih konkret tentang peserta didik sangat perlu di ketahui oleh setiap pendidik. Hal ini sangat beralasan karena melelui pemahaman tersebut akan membantu pendidik dalam melaksanakan tugas dan fungsinya melalui berbagai aktivitas kependidikan.
Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik maupun psikis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui lembaga pendidikan. Dalam bahasa Arab, peserta didik dikenal dengan istilah tilmidz (sering digunakan untuk menunjukkan peserta didik tingkat sekolah dasar) dan thalib al-‘ilm (orang yang menuntut ilmu dan biasa digunakan untuk tingkat yang lebih yaitu seperti Sekolah Lanjut Pertama dan Atas serta Perguruan Tinggi).
Peserta didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka perlu bimbingan dan pengarahan yang konsisten dan berkesinambungan menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. Peserta didik tidak hanya menjadi objek (sasaran pendidikan) tetapi juga sebagai subjek pendidikan, diperlukan dengan cara melibatkan mereka dalam memecahkan masalah-masalah dalam proses pembelajaran. Peserta didik juga dapat dicirikan sebagai orang yang tengah memerlukan pengetahuan (ilmu), bimbingan dan pengarahan dari guru misalnya serta orang yang memerlukan kawan tempat mereka berbagai rasa dan belajar bersama.[3]
Berikut ini akan diuraikan pengertian peserta didik dari sudut pandang Pendidikan Islam, yaitu:
1.      Muta’allim
Muta’allim adalah orang yang sedang diajar atau orang yang sedang mengajar. Muta’allim sangat erat kaitanya dengan ma’allim. Karena mu’allim adalah orang yang mengajar, sedangkan muta’allim adalah orang yang yang diajar. Kewajiban menuntut ilmu atau belajar sesuai dengan firman Allah Swt. Yang artinya “dan bertanyalah kepada orag-orang yang berilmu jika kalian tidak mengetahui”. Dan Sabda Rasulullah SAW:” Menuntut ilmu adalah wajib bagi laki-laki dan perempuan.
2.      Mutarabbi
Mutarabbi adalah orang yang dididik dan orang yang diasuh dan orang yang dipelihara. Defenisi Mutarabbi adalah lawan defenisi dari defenisi muarabbi yaitu pendidik, penagsuh. Sedangkan mutarabbi adalah yang dididik dan diasuh.

3.      Muta’addib
Muta’addib adalah orang yang diberi tata cara sopan santun atau orang yang dididik untuk menjadi orang yang baik adan diberbudi muta’addib juga berasal dari muaddip yang artinya mendidik dalam hal tingkah laku peserta didik. Jadi, mutaaddib adalah orang yang diberi pendidikan tentang tingkah laku.[4]
            Beberapa hal yang terkait dengan hakikat peserta didik dan implementasinya terhadap pendidikan Islam, yaitu :
1.      Peserta didik bukan merupakan miniature orang dewasa akan tetapi memiliki dunianya sendiri.
2.      Peserta didik adalah manusia yang memiliki diferensiasi priodesasi perkembangan dan pertumbuhan.
3.      Peserta didik adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik yang menyangkut kebutuhan jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi.
4.      Peserta didik adalah makhluk Allah yang memiliki perbedaan individual, baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan dimana ia berada.
5.      Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur yaitu jasmani dan rohani.
6.      Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.[5]

2.2  Peserta Didik dalam Perspektif Falsafah Pendidikan Islam
Banyak sebutan disekitar kita mengenai peserta didik ini. Ada yang menyebut murid, siswa, santri, anak didik dan berbagai sebutan lainnya. Murid misalnya, secara terminologi dapat diartikan sebagai orang yang sungguh-sungguh mencari ilmu dengan mendatangi guru. Sedangkan dalam pendidikan islam, ketika dihadapkan pada orang yang berguru kepada seorang guru, maka melahirkan konsep “santri kelana”. Istilah santri kalau berasal dari kata cantrik lebih pas dengan pendidikan Islam. Karena dipadepokan, seorang cantrik pasti patuh pada sang guru.
            Dalam pendidikan Islam, beberapa hal yang perlu dikembangkan terkait dengan komponen peserta didik (input) antara lain adalah persyaratan penerimaan (rekrutmen) siswa baru. Selain ini juga perlu diperhatikan mengenai rumusan tentang kualitas output peserta didik yang diinginkan, akan dibawa kemana anak didiknya harus secara jelas dan tegas dirumuskan.
            Kemudian yang perlu mendapatkan perhatian adalah jumlah peserta didik yang diinginkan, karena ini akan berkaitan erat dengan kapasitas sarana pendidikan yang dimiliki oleh sebuah lembaga pendidikan Islam. Tak kalah pentingnya adalah latar belakang peserta didik, baik itu mengenai pendidikannya, sosialnya, budayanya, pengalaman hidupnya, potensi, minat, bakat, dan lainnya.[6]
2.3   Kode Etik Murid
Tujuan pendidikan salah satunya adalah menciptakan generasi yang berakhlak mulia bahkan hal ini menjadi tujuan penting dalam pengutusan Rasulullah Saw kemuka bumi ini. Oleh sebab itu pembahasan mengenai kode etik seorang siswa amatlah penting dalam pendidikan Islam.
Menurut Imam Nawawi bahwa adab-adab dan kode etik penuntut ilmu sama dengan kode etik seorang guru. Hal tersebut dirincikan sebagai berikut:
1.      Murid harus membersihkan hatinya dari segala kotoran agar hatinya siap untuk menerima ilmu dan menghafalnya serta mengambil manfaat darinya. Menurut ulama membenahi hati untuk menerima ilmu sama halnya menyuburkan tanah untuk ditanami.
2.      Hendaknya penuntut ilmu memutuskan hubungan dengan segala sesuatu yang menyibukkannya dari penyempurnaan upaya dalam mencari ilmu. Ridha terhadap rezeki yang sedikit dan bersabar dalam menghadapi kesulitan hidup.imam Syafi’i pernah berkata: jika seorang menuntut ilmu ini dengan harta kepemilikan yang banyak juga dengan kesombongan diri maka dia tidak akan beruntung namun jika seorang menuntut ilmu dengan kerendahan hati, kesulitan hidup, melayani para ulama maka ia akan beruntung.
3.      Hendaklah seorang penuntut ilmu merendahkan hatinya kepada ilmu dan kepada gurunya karena dengan kerendahan hatinyalah ia dapat memperoleh ilmu.
4.      Janganlah ia membina ilmu melainkan dari seorang yang sempurna keahlian ilmunya, jelas keta’ataan beragamanya, benar ma’rifatnya dan terkenal memelihara dirinya dan kepeloporannya dalam keilmuan.
5.      Hendaklah jua seorang penuntut ilmu memandang kepada gurunya dengan penuh hormat dan meyakininya memiliki kesempurnaan kelayakan dan kelebihan diatas kebanyakan ulama yang semasa dengannya.
6.      Hendaklah si penuntut ilmu mencari keridhoan gurunya meskipun ia menentang pendapat pribadinya, janganlah ia menggunjingnya atau membeberkan rahasianya.
7.      Janganlah ia masuk menemuinya tanpa izin, jika mereka menemuinya secara berjama’ah maka hendaklah mendahulukan orang yang paling mulia atau paling tua.[7]
Al-Ghazali yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman  juga berpendapat bahwa sifat dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam proses belajar mengajar baik secara langsung maupun tidak langsung, adapun sifat dan kode etik peserta didik yaitu:
1.      Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela (takhalli) dan mengisi dengan akhlak yang terpuji (tahalli).
2.      Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkanmasalah ukhrawi (Q>S adh-Dhuha:4). Artinya, belajar tak semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi juga belajar ingin berjihad melawan kebodohan demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi, baik di hadapan manusia dan Allah SWT.
3.      Bersifat tawadlu (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidiknya.
4.      Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran, sehingga ia terfokus dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.
5.      Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah), baik untuk ukhrawi maupun untuk duniawi, serta meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela (madzmumah).
6.      Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajara yang sukar (abstrak) atau ilmu yang fardlu ‘ain menuju ilmu yang fardlu kifayah (Q.S. al-Insyiqaq: 19)
7.      Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lain, sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam.
8.      Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari, sehingga mendatangkan objektivitas dalam memandang suatu masalah.
9.      Mempriyoritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah SWT, sebelum memasuki ilmu duniawi.[8]

2.4  Tugas dan Tanggung Jawab Pesrta Didik
            Dalam pendidikan, istilah mana sebenarnya yang paling tepat? Saya memilih istilah murid. Jadi, istilah muridlah yang paling tepat bagi semua orang yang sedang belajar pada guru, bukan anak didik dan bukan pula peserta didik. Saya pilih istilah murid karena banyak mengandung banyak kelebihan dibandingkan dengan dua istilah lainnya.
Sa’id Hawwa (1999) menjelaskan adab dan tugas murid (yang dapat juga disebut sifat-sifat murid) sebagai berikut ini.
            Pertama, murid harus mendahulukan kesucian jiwa sebelum yang lainnya. Sama halnya dengan shalat, ia tidak sah bila tidak suci dari hadats dan najis. Menyemarakkan hati dengan ilmu tidak sah kecuali setelah hati itu suci dari kekotoran akhlak. Intinya di sini ialah murid itu jiwanya harus suci. Indikatornya terlihat pada akhlaknya.

            Kedua, murid harus mengurangi keterikatannya dengan kesibukan duniawiah karena kesibukan itu akan mengelahkannya dari menuntut ilmu. Tuhan menyatakan bahwa Ia tidak akan menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam dua rongga dadanya (al-Ahzab:4). Jika pikiran terpecah maka murid tidak akan dapat memahami hakikat.
            Karena itu dikatakan “Ilmu tidak akan memberikan kepadamu sebagainnya sebelum kamu menyerahkan kepadanya seluruh jiwamu; jika kamu telah memberikan seluruh jiwamu kepadanya tetapi ia baru memberikan sebagainnya kepadamu maka itu berarti kamu dalam bahaya.” Pikiran yang terpencar pada berbagai hal yang seperti sungai kecil yang airnya terpencar kemudian sebagiannya diserap tanah dan sebagian lagi menguap ke udara sehingga tidak ada air yang terkumpul dan sampai ke ladang tanaman. Intinya ialah murid harus berkonsentrasi menuntut ilmu, tidak mengkonsentrasikan diri pada selain itu.
            Ketiga, tidak sombong terhadap orang yang berilmu, tidak bertindak sewenang-wenang terhadap guru; ia harus patuh kepada guru seperti patuhnya orang sakit terhadap dokter yang merawatnya. Murid harus Tawadldlu’ kepada gurunya dan mencari pahala dengan cara berkhidmat pada guru.
Di antara sikap sombong terhadap guru ialah ia tidak mengambil manfaat dari ilmu yang di ajarkan guru. Ilmu itu enggan terhadap murid yang congkak seperti enggannya banjir terhadap tanah tinggi. Intinya ialah patuh pada guru; tawadldlu’ itu salah satu indikator kepatuhan.
            Keempat, orang yang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri dari mendengarkan perbedaan pendapat atau khilafiah antar mazhab karena hal itu akan membingungkan pikirannya. Perbedaan pendapat dapat diberikan pada belajar tahap lanjut.
Kelima, penuntut ilmu harus mendahulukan menekuni ilmu yang paling penting untuk dirinya. Jika usianya mendukung barulah ia menekuni ilmu lain yang berkaitan dengan ilmu paling penting tersebut.
            Keenam, tidak menekuni banyak ilmu sekaligus, melainkan berurutan dari yang paling penting. Ilmu yang paling utama ialah ilmu mengenal Allah.
            Ketujuh, tidak memasuki cabang ilmu sebelum menguasai cabang ilmu sebelumnya. Ilmu itu sifatnya bertahap dan berurutan. Antara satu ilmu dengan ilmu lainnya seringkali memilki sifat prerequisite.
            Kedelapan, hendaklah mengetahui ciri-ciri ilmu yang paling mulia, itu diketahui dari hasil belajarnya, dan kekuatan dalilnya. Contoh (dari segi hasil): hasil belajar ilmu agama ialah kehidupan yang abadi, sedangkan hasil belajar ilmu kedokteran ialah kehidupan yang fana. Jadi belajar ilmu agama lebih utama ketimbang belajar ilmu kedokteran.[9]

Agar pelaksanaan proses Pendidikan Islam dapat mencapai tujuan yang diinginkan, maka setiap pesertadidik hendaknya senantiasa menyadari tugas dan kewajibannya. Menurut Asma Hasan Fahmi, diantara tugas dan kewajiban yang perlu dipenuhi peserta didik adalah :
1.      Peserta didik hendaknya senantiasa membersihkan hatinya sebelum menuntut ilmu.
2.      Tujuan belajar hendaknya ditujukan untuk menghiasi ruh dengan berbagai sifat keutamaan.
3.      Memiliki kemauan yang kuat untuk mencari dan menuntut ilmu diberbgai tempat.
4.      Setiap peserta didik wajib menghormati pendidiknya.
5.      Peserta didik hendaknya belajar secara sungguh-sungguh dan tabah dalam belajar.
Selanjutnya Al-Abrasyi menyatakan, bahwa diantara tugas peserta didik dalam Pendidikan Iilam adalah :
1.      Sebelum belajar hendaklah terlebih dahulu membersihkan hatinya dari segala sifat yang buruk.
2.      Niat belajar hendaknya ditunjukan untuk mengisi jiwa dengan berbagai fadhilah.
3.      Hendaklah bersedia meninggalkan keluarga dan anak untuk mencari ilmu ketempat yang jauh sekalipun.
4.      Memaafkan guru apabila mereka bersalah, terutama dalam menggunakan lidahnya.
5.      Peserta wajib saling mengasihi dan menyayangi diantara sesamanya, sebagai wujub memperkuat rasa persaudaraan.
Peserta didik adalah saah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral dalam proses  belajar-mengajar. Dalam proses belajar-mengajar, peserta didik adalah pihak yang ingin meraih cita-cita dan ingin memiliki tujuan dan kemudian ingin mencapainya secara optimal. Jadi, dalam proses belajar-mengajar yang perlu diperhatikan pertama kali adalah peserta didik, bagaimana keadaan dan kemampuannya, baru setelah itu menentukan komponen-komponenn yang lain, seperti bahan yang diperlukan, bagaimana cara yang tepat untuk bertindak, alat dan fasilitas apa yang cocock untuk mendukung. Semua itu harus disesuaikan dengan keadaan atau karakteristik peserta didik. Itulah sebabnya peserta didik merupakan subjek belajar.
Menurut Ahmadi, ada beberapa tugas peserta didik dalam pendidikan Islam yaitu :
1.      Memahami dan menerima keadaan jasmani.
2.      Memperoleh hubungan yang memuaskan dengan teman-teman sebayanya.
3.      Mencapai hubungan yang lebih”Matang”  dengan orang dewasa.
4.      Mencapai kematangan Emosional.
5.      Menuju kepada keadaan berdiri sendiri dalam lapangan financial.
6.      Mencapai kematangan intelektual.
7.      Membentuk pandangan hidup.
Menurut Imam al-Ghajali peserta didik memiliki sepuluh poin kewajibannya :
1.      Peserta didik memprioritaskan penyucian diri dari akhlak tercela dan sifat buruk, sebab ilmu bentuk pribadatan hati, shalat ruhani dan pendekatan batin kepada Allah.
2.      Peserta didik menjag diri dari kesibukan-kesibukan duniawi dan dan berkelana jauh dari tempat tinggalnya.
3.      Peserta didik tidak membusungkan dada terhadap orang alim (guru), melainkan bersediah patuh dalam segala urusan dan bersedia mendengarkan nasihatnya.
4.      Peserta didik hendaknya menghindarkan diri dari mengkaji variasi dan pemikiran dan tokoh, baik menyangkut ilmu-ilmu duniawi maupun ilmu-ilmu ukhrawi.
5.      Pesrta didik  tidak mengabaikan suatu disiplin ilmu apapun yang terpuji, melainkan bersedia mempelajarinya hingga tau akan orientasi dari disiplin ilmu tersebut.
6.      Pesrta didik dalam usahanya mendalami suatu disiplin ilmu tidak dilakukan secara sekaligus, akan tetapi perlu bertahap dan memprioritaskan yang terpenting.
7.      Peserta didik tidak melangah mendalami tahap ilmu berikutnya hingga ia benar-benar menguasai tahap ilmu sebelumnya.
8.      Peserta didik hendaknya mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan dapat memperoleh ilmu yang paling mulia.
9.      Tujuan peserta didik dalam menuntut ilmu adalah pembersihan batin dan mengasihinya dengan keutamaan serta pendekatan diri kepada Allah.
10.  Peserta didik megetahui relasi ilmu-ilmu yang dikajinya dengan orientasi yang dituju, sehingga dapat memilah dan memilih ilmu mana yang haris diprioritaskan.[10]

2.5  Hakekat Peserta Didik
            Di antara komponen terpenting dalam pendidikan islam adalah peserta didik. Dalam perspektif pendidikan Islam, peserta didik merupakan subjek dan objek. Oleh karenanya, aktifitas kependidikan tidak akan terlaksana tanpa keterlibatan peserta didik di dalamnya. Pengertian yang utuh tentang konsep peserta didik merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui dan dipahami oleh seluruh pihak, terutama pendidikan yang terlibat langsung dalam proses pendidikan. Tanpa pemahaman yang utuh dan komprehensif terhadap peserta didik, sulit rasanya bagi pendidikan untuk dapat menghantarkan peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan.
            Dalam paradigma pendidikan islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini, peserta didik meruapakan mahluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memilki bakat, memilki kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.[11]
            Melalui paradigma di atas menjelaskan bahwa peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan. Potensi suatu kemampuan dasar yang dimilikinnya tidak akan tumbuh dan berkembang secara optimal tanpa bimbingan pendidik. Karenanya pemahamannya yang lebih konkert tentang peserta didik sangat perlu diketahui oleh setiap pendidik. Hal ini sangat beralasan karena melalui pemahaman tersebut akan membantu pendidik dalam melaksanakan tugas dan fungsinya melalui berbagai aktifitas kependidikan. Untuk itu, perlu terlebih dahulu diperjelas beberapa diskripsi tentang hakikat peserta didik dan implikasinya terhadap pendidikan islam, yaitu:

1.      Peserta didik bukan merupakan miniatur orang dewasa akan tetapi memiliki dunianya sendiri. Hal ini sangat penting untuk dipahami agar perlukan terhadap mereka dalam proses kependidikan tidak disamakan dengan pendidikan orang dewasa, baik dalam aspek metode mengajar, materi yang akan diajarkan, sumber bahan yang digunakan, dan lain sebgainnya.
2.      Peserta didik adalah manusia yang memilki diferensiasi periodesasi perkembangan dan pertumbuhan. Pemahaman ini cukup perlu untuk diketahui agar aktivitas kependidikan islam disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan danperkembngan yang pada umumnya dilalui oleh setiap peserta didik. Hal ini sangat beralasan, karena kadar kemampuan peserta didik ditentukan oleh faktor usia dan periode perkembangan atau pertumbuhan potensi yang dimilikinnya.
3.      Peserta didik adalah manusia yang memilki kebutuhan, baik yang menyangkut kebutuhan jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi. Di antara kebutuhan tersebut adalah kebutuhan biologis, kasih sayang, rasa aman, harga diri, realisasi diri dan sebagainya. Kesemuanya itu penting dipahami oleh pendidik agar tugas kependidikan dapat berjalan secara baik dan benar.
4.      Peserta didik adalah mahluk allah yang memiiliki perbedaan individual (differensiasi individual), baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan maupun lingkungan dimana ia berada. Pemahaman tentang differisiansi individual peserta didik sangat penting untuk dipahami oleh seorang pendidik. Hal ini disebabkan karena menyangkut bagaimana pendekatan yang perlu dilakukan pendidik dalam menghadapi ragam sikap dan perbedaan tersebut dalam suasana yang dinamis, tanpa harus mengorbankan kepentingan salah satu pihak atau kelompok.
5.      Peserta didik merupakan resultan dari dua unsur utama, yaitu jasmani dan rohani. Unsur jasmani memiliki daya pisik yang menghendaki latihan dan pembiasaan yang dilakukan melalui proses pendidikan. Sementara unsur rohaniah memiliki dua daya, yaitu daya akal dan daya rasa. Untuk mempertajam daya akal, maka proses pendidikan hendaknya diarahkan untuk mengaya daya intelektualitasnya melalui ilmu-ilmu rasional. Adapun untuk mempertajam daya rasa dapat dilakukan melalui pendidikan akhlak dan ibadah. Konsep ini bermakna bahwa suatu proses pendidikan islam hendaknya dilakukan dengan memandang peserta didik secara utuh. Dalam dataran praktis, pendidikan islam tidak hanya mengutamakan pendidikan salah satu aspek saja, melainkan kedua aspek secara intregal dan harmonis. Bila tidak, maka pendidikan tidak akan mampu menciptakan out put yang memilki kepribadian utuh, akan tetapi malah sebaliknya yaitu kepribadian yang ambigu. Bila fenomena ini terjadi dalam praksis pendidikan islam, maka upaya untuk menciptakan insan kamil akan hanya sebuah mimpi belaka.


6.      Peserta didik adalah manusia yang memilki potensi (fitrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis. Di sini tugas pendidikan adalah membantu mengembangkan dan mengarahkan perkembangan tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan yang diinginkan, tanpa melepaskan tugas kemanusiannya; baik secara vertikal maupun horizontal. Ibarat sebidang sawah, peserta didik adalah orang yang berhak bercocok tanam dan memanfaatkan sawahnya (potensi). Sementara pendidik (termasuk orang tua) hanya bertugas menyirami dan mengontrol tanaman agar tumbuh subur sebagaimana mestinya, sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku.[12] 




BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
            Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik maupun psikis untuk mencapai tujuan pendidikannya melalui lembaga pendidikan. Dalam bahasa Arab, peserta didik dikenal dengan istilah tilmidz (sering digunakan untuk menunjukkan peserta didik tingkat sekolah dasar) dan thalib al-‘ilm (orang yang menuntut ilmu dan biasa digunakan untuk tingkat yang lebih yaitu seperti Sekolah Lanjut Pertama dan Atas serta Perguruan Tinggi).
            Dalam paradigm pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Disini peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun pertimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi ruhaniyah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak, perasaan dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.



DAFTAR PUSTAKA
            Mujib, Abdul & Mudzakkir, Jusuf. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media
            Nizar, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers
            Salminawati. 2015. Filsafat Pendidikan Islam Membangun Konsep Pendidikan yang Islami. Bandung: Citapustaka Media Perintis
            Syafaruddin, dkk. 2009. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Hijri Pustaka Utama
            Usiono. 2015. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Citapustaka Media
            Tafsir, Ahmad, 2012. Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya


[1] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal 47
[2] Salminawati. Filsafat Pendidikan Islam Membangun konsep Pendidikan Yang Islam. (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2015), hal 139
[3] Syafaruddin, dkk. Ilmu pendidikan Islam. (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2009), hal 46
[4] Salminawati. Filsafat Pendidikan Islam Membangun konsep Pendidikan Yang Islam. (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2015), hal 140
[5] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis. (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), hal 50
[6] Usiono, Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung: Citapustaka Media, 2015) hal. 110
[7] Ibid, hal.115
[8] Abdul Mujib & Jusuf Mudzakkir. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), hal 114
[9] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2012,  hal. 166-168
[10] Salminawati. Filsafat Pendidikan Islam Membangun konsep Pendidikan Yang Islam. (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2015), hal 143
[11] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta: CIPUTAT PERS. 2002, Hal. 48
[12] Ibid, Hal. 50
 

           








Tidak ada komentar:

Posting Komentar